Di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Soeharto, kegagalan kebijakan
moneter Indonesia terutama disebabkan oleh dominasi anggaran pemerintah
terhadap kebijakan moneter. Jadi BI tidak independen secara finansial
dari operasional anggaran pemerintah.
Di tahun 1950-an dan
1960-an, Soekarno melakukan ekspansi pengeluaran yang jauh melebihi
kapasitas penerimaan pemerintah. Kemudian BI dipaksa membiayai defisit
anggaran yang terjadi dengan mencetak uang. Ekspansi moneter yang
berlebihan menyebabkan inflasi melonjak melebihi 100 persen per tahun
selama periode 1962-1967, dengan tingkat inflasi tertinggi sekitar 600
persen terjadi di tahun 1965 - 1966.
Belajar dari kesalahan
Seokarno, Soeharto melaksanakan stabilisasi ekonomi dengan menerapkan
target anggaran ketat, yang kemudian dikenal sebagai prinsip “anggaran
yang berimbang”. Prinsip “anggaran yang berimbang” tersebut menjadi
fondasi bagi proses operasional BI yang relatif independen secara
finansial dari pengaruh operasional anggaran pemerintah selama era
Soeharto sampai tahun 1997.
Sayangnya, pada tahun 1998 kesalahan
yang mirip seperti di masa Soekarno kembali terulang, yaitu ketika
Soeharto memerintahkan BI memberikan bantuan likuiditas kepada lembaga
keuangan yang tidak solven milik konglomerat yang menjadi kroninya. Hal
ini telah melanggar prinsip independensi finansial bank sentral yang
bersumber dari prinisip “anggaran yang berimbang”.
Pengalaman
tersebut menunjukkan bahwa bank sentral yang tidak memiliki otonomi
dalam aspek finansial akan menyebabkan bencana ketidakstabilan moneter.
Pengalaman diatas juga memperlihatkan bagaimana independensi finansial
bank sentral dapat tercipta tanpa ada jaminan eksplisit dari
undang-undang (UU) bank sentral.
Dengan adanya UU Nomor 23 tahun 1999 mengenai BI, independensi bank sentral dijamin secara eksplisit dengan hukum positif.
Sayangnya,
sejak implementasi UU 23/1999, BI lebih sering gagal mencapai target
kebijakan moneter, yaitu: inflasi dan nilai tukar, dan target antara
kebijakan moneter, yaitu: pertumbuhan uang beredar. Di tahun 2000 dan
2001, realisasi inflasi, pertumbuhan uang beredar, dan nilai tukar
memang jauh diatas target yang ditetapkan.
Seharusnya, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai wakil rakyat, meminta
pertanggungjawaban gubernur dan deputi gubernur BI atas kegagalan mereka
mencapai target kebijakan tersebut. Tapi, seperti yang kita ketahui
bersama, DPR tidak pernah dengan serius menyelidiki kegagalan BI
tersebut.
Bahkan DPR pada saat itu memihak gubernur BI yang
kebetulan sedang bertikai dengan mantan Presiden Wahid. Hal ini
menimbulkan pertanyaan: apakah DPR dengan sengaja mempertahankan dan
melindungi gubernur yang gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk
melemahkan posisi presiden?
Penulis ingin menekankan bahwa bank
sentral bukan hanya harus independen dari badan eksekutif, tetapi juga
dari semua kepentingan politik. Bank sentral yang independen juga harus
dilindungi dari intervensi kekuatan legislatif seperti DPR atau
kepentingan politik lainnya. Bank sentral bukan lah alat politik, bank
sentral adalah instrumen ekonomi untuk menjamin stabilitas moneter bagi
kepentingan seluruh masyarakat.
Baru ditahun 2002 BI dapat
memenuhi target inflasi dan pertumbuhan uang beredar, sedangkan target
nilai tukar baru tercapai di tahun 2003.
Sumber:
http://econfuse.blogspot.co.id/2008/09/bank-indonesia-independen-tanpa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar