Senin, 07 Desember 2015

Akibat tidak independennya Bank Indonesia di masa lalu

Di masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Soeharto, kegagalan kebijakan moneter Indonesia terutama disebabkan oleh dominasi anggaran pemerintah terhadap kebijakan moneter. Jadi BI tidak independen secara finansial dari operasional anggaran pemerintah.

Di tahun 1950-an dan 1960-an, Soekarno melakukan ekspansi pengeluaran yang jauh melebihi kapasitas penerimaan pemerintah. Kemudian BI dipaksa membiayai defisit anggaran yang terjadi dengan mencetak uang. Ekspansi moneter yang berlebihan menyebabkan inflasi melonjak melebihi 100 persen per tahun selama periode 1962-1967, dengan tingkat inflasi tertinggi sekitar 600 persen terjadi di tahun 1965 - 1966.

Belajar dari kesalahan Seokarno, Soeharto melaksanakan stabilisasi ekonomi dengan menerapkan target anggaran ketat, yang kemudian dikenal sebagai prinsip “anggaran yang berimbang”. Prinsip “anggaran yang berimbang” tersebut menjadi fondasi bagi proses operasional BI yang relatif independen secara finansial dari pengaruh operasional anggaran pemerintah selama era Soeharto sampai tahun 1997.

Sayangnya, pada tahun 1998 kesalahan yang mirip seperti di masa Soekarno kembali terulang, yaitu ketika Soeharto memerintahkan BI memberikan bantuan likuiditas kepada lembaga keuangan yang tidak solven milik konglomerat yang menjadi kroninya. Hal ini telah melanggar prinsip independensi finansial bank sentral yang bersumber dari prinisip “anggaran yang berimbang”.

Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa bank sentral yang tidak memiliki otonomi dalam aspek finansial akan menyebabkan bencana ketidakstabilan moneter. Pengalaman diatas juga memperlihatkan bagaimana independensi finansial bank sentral dapat tercipta tanpa ada jaminan eksplisit dari undang-undang (UU) bank sentral.

Dengan adanya UU Nomor 23 tahun 1999 mengenai BI, independensi bank sentral dijamin secara eksplisit dengan hukum positif.

Sayangnya, sejak implementasi UU 23/1999, BI lebih sering gagal mencapai target kebijakan moneter, yaitu: inflasi dan nilai tukar, dan target antara kebijakan moneter, yaitu: pertumbuhan uang beredar. Di tahun 2000 dan 2001, realisasi inflasi, pertumbuhan uang beredar, dan nilai tukar memang jauh diatas target yang ditetapkan.

Seharusnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sebagai wakil rakyat, meminta pertanggungjawaban gubernur dan deputi gubernur BI atas kegagalan mereka mencapai target kebijakan tersebut. Tapi, seperti yang kita ketahui bersama, DPR tidak pernah dengan serius menyelidiki kegagalan BI tersebut.

Bahkan DPR pada saat itu memihak gubernur BI yang kebetulan sedang bertikai dengan mantan Presiden Wahid. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah DPR dengan sengaja mempertahankan dan melindungi gubernur yang gagal dalam melaksanakan tugasnya untuk melemahkan posisi presiden?

Penulis ingin menekankan bahwa bank sentral bukan hanya harus independen dari badan eksekutif, tetapi juga dari semua kepentingan politik. Bank sentral yang independen juga harus dilindungi dari intervensi kekuatan legislatif seperti DPR atau kepentingan politik lainnya. Bank sentral bukan lah alat politik, bank sentral adalah instrumen ekonomi untuk menjamin stabilitas moneter bagi kepentingan seluruh masyarakat.

Baru ditahun 2002 BI dapat memenuhi target inflasi dan pertumbuhan uang beredar, sedangkan target nilai tukar baru tercapai di tahun 2003.



Sumber:
http://econfuse.blogspot.co.id/2008/09/bank-indonesia-independen-tanpa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar