Sabtu, 05 Desember 2015

Asas Otonomi & Tugas Pembantuan.

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan amanat kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

Kesejahteraan masyarakat daerah yang akan diwujudkan dengan terbentuknya pemerintahan daerah juga dapat digunakan sebagai peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah sebagaimana tercantum dalam konsideran menimbang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu mempunyai tiga tujuan (Sadu Wasisitiono; 2003), yaitu :

Tujuan politik, yakni demikratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik.

Tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah.

Tujuan sosial ekonomi, yakni meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.



Lembaga Pemerintahan Daerah

Pemerintahan daerah menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa komponen dari suatu pemerintahan daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah daerah yang dimaksud adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagi unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang juga merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi yang kemudian dibagi juga atas kabupaten-kabupaten dan kota-kota dimana masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pembentukan dan Penghapusan

Pembentukan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota ditetapkan dengan undang-undang. Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Penghapusan dan penggabungan daerah beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.

Pemerintahan daerah baik di provinsi maupun di kabupaten/kota menjalankan otonomi dengan seluas-luasnya kecuali pada urusan pemerintahan yang telah ditetapkan menjadi urusan Pemerintah Pusat. Otonomi daerah yang dijalankan oleh pemerintahan daerah mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Pembagian Urusan Pemerintahan

Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan mengenai urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi :

    politik luar negeri;

    pertahanan;

    keamanan;

    yustisi;

    moneter dan fiskal nasional; dan

    agama.

Urusan Pemerintahan Daerah

Pemerintahan daerah mempunyai urusan di luar urusan tersebut di atas sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (1) yang meliputi :

1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;

2. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;

3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

4. penyediaan sarana dan prasarana umum;

5. penanganan bidang kesehatan;

6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia poetensial;

7. penanggulangan masalah sosial;

8. pelayanan bidang ketenagakerjaan;

9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

10. pengendalian lingkungan hidup;

11. pelayanan pertanahan;

12. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;

14. pelayanan administrasi penanaman modal;

15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan

16. urusan lain yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.



Selain urusan-urusan yang telah disebutkan di atas, pemerintahan daerah juga mempunyai urusan pilihan yang merupakan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota merupakan urusan yang berskala kabupaten atau kota meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan kabupaten atau kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.

Penyelenggara Pemerintahan

Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh wakil presiden, dan oleh menteri negara.Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Untuk pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi. Untuk pemerintahan daerah kabupaten atau daerah kota yang terdiri atas pemerintah daerah kabupaten atau kota dan DPRD kabupaten atau kota.

Dalam menyelenggarakan pemerintahan, pemerintah pusat menggunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban tersebut diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dimaksud dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.

Sejarah Hukum Lembaga Pemerintahan Daerah

Pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia dari waktu ke waktu mengalami banyak perubahan. Pada tiap tahapan periode, pemerintahan daerah mempunyai bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasar pada aturan umum yang ditetapkan melalui Undang-Undang sebagaimana telah diunduh dari http : // id.wikipedia.org/wiki/sejarah-pemerintahan-daerah-di-Indonesia pada tanggal 23 Oktober 2011.



1. Periode Tahun 1945-1948

Aturan umum yang berlaku pada periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1948 adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan yang sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya Komite Nasional Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah.

Wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi yang dikepalai oleh Gubernur. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan yang dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah.

Provinsi dan karesidenan hanya merupakan daerah administrasi dan belum mendapat otonomi.



2. Periode Tahun 1948-1957

Periode tahun 1948 sampai dengan tahun 1957 telah berlaku Undang-Undang Pokok Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah.

Secara umum, Indonesia memiliki dua jenis daerah otonomi, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus. Masing-masing daerah otonomi tersebut memiliki tiga tingkatan pemerintahan meliputi :

a. Tingkat I : Provinsi;

b. Tingkat II : Kabupaten/Kota Besar; dan

    Tingkat III : Desa.

3. Periode Tahun 1957-1965

Periode ini berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah otonomi yaitu daerah otonomi biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonomi khusus yang disebut dengan daerah istimewa yang masing-masing memiliki tingkatan sebagai berikut :

a. Tingkat I : Daerah Swatantra Tingkat ke I;

b. Tingkat II : Daerah Swatantra Tingkat ke II; dan

c. Tingkat III : Daerah Swatantra Tingkat ke III.



4. Periode Tahun 1965-1974

Periode tahun 1965 sampai dengan tahun 1974 berlaku Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.

Menurut Undang-Undang tersebut, secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut kemudian dibagi menjadi tiga tingkatan daerah, yaitu :

a. Provinsi/Kotaraya;

b. Kabupaten/Kotamadya; dan

c. Kecamatan/Kotapraja.

5. Periode Tahun 1974-1999

Periode ini berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965.

Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan wilayah administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.

Daerah otonom terdiri atas :

a. Daerah Tingkat I; dan

b. Daerah Tingkat II.

Wilayah administrasi terdiri atas :

a. Provinsi/Ibukota Negara;

b. Kabupaten/Kotamadya;

c. Kota Administratis; dan

d. Kecamatan.



6. Periode Tahun 1999-2004

Periode ini berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.

Dalam Undang-Undang ini, Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan pada daerah Aceh, Jakarta dan Yogyakarta serta satu tingkat wilayah administratif.

Tiga jenis daerah otonom adalah daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara, dalam artian tidak ada hierarki daerah otonom. Daerah provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.



7. Periode Tahun 2004

Periode sejak tahun 2004 berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Menurut Undang-Undang ini, Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota.



Otonomi Daerah: Landasan Hukum, Asas, dan Pemda

1. Berbagai pandangan tentang konsep otonomi

Konsep otonomi daerah, menurut Ma’mun Ridwan (2003:1), telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, Pemerintah kolonial Belanda dan Jepang, sampai Indonesia merdeka hingga sekarang, sebenarnya telah melaksanakan konsep otonomi daerah. Pada setiap zamannya terdapat benang merah yang menunjukkan bahwa substansi otonomi daerah telah lama ada, yakni memberikan kewenangan pada pemerintahan daerah, untuk mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk mengoptimalisasikan potensi sumber daya manusia dan potensi alamnya. Realitasnya menunjukkan, konsep otonomi darah mendorong penyelenggaraan pemerintah daerah bisa secara efektif dan efisien. Zaman penjajahan Belanda, otonomi daerah diterapkan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Gubernur Jenderal memberikan kewenangan kepada pemerintah swapraja ataupun daerah Gubermenan, para pemimpin rakyat (Volks Hoofden) dibiarkan memerintah rakyatnya sendiri, namun hasilnya dikuras untuk kepentingan kompeni.

Ketika Indonesia merdeka, konsep otonomi daerah sudah diundangkan sebagaimana termuat dalam UU No. 1 Tahun 1945 yang kemudian mengalami penggantian melalui UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, dan terakhir melalui UU No. 32 Tahun 2004.

Konsep otonomi, menurut Ismail Suny (dalam Ni’matul Huda, 2005:87-88) ada lima tingkatan, yaitu:

Negara kesatuan dengan otonomi yang terbatas. Melalui UU Nomor 5 Tahun 1974, Indonesia merupakan contoh negara yang menganut otonomi terbatas. Meski di dalamnya ditegaskan asas desentralisasi, substansinya sangat sentralistik. Ia memberikan wewenang yang sangat besar pada pemerintah pusat dalam banyak hal.

Negara kesatuan dengan otonomi luas. Secara ekonomi, otonomi yang luas harus didukung dengan kekayaan dan keuangan. Oleh karena itu, sangatlah diperlukan pengaturan tentang perimbangan kekayaan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perimbangan ini diperlukan agar pengurusan kekayaan dan keuangan tidak semata-mata ada di tangan pemerintah pusat.

Negara quasi federal dengan provinsi atas kebaikan pemerintah pusat. Ciri negara semacam ini adalah kekuasaan pada pemerintahan pusat untuk menentukan berlaku tidaknya keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh daerah-daerah bagian. Karenanya, negara model begini disebut juga negara federal semu.

Negara federal dengan pemerintahan federal, seperti negara Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Swiss.

Negara Konfederasi. Dalam bentuknya yang paling ekstrem, suatu negara dikatakan berbentuk konfederasi jika pemerintah pusat tergantung pada goodwill negara-negara anggota konfederasi atau negara-negara anggota commonwealth.

Ada dua alasan pokok, menurut Robert Rienow (1996:573), dari kebijaksanaan membentuk pemerintahan di daerah. Kedua alasan pokok tersebut, yaitu: (1) membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang berkaitan langsung dengan rakyat; (2) memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri. Semangat ini tertuang di dalam Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa:

“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”



Sedangkan istilah Otonomi Daerah diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 5 UU 32 Tahun 2004).

Manfaat Otonomi Daerah, menurut Shabbir Cheema dan Rondinelli, (dalam Dadang Solihin, 2007:11), yaitu: (1) Perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen. (2). Memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari pemerintah pusat. (3). Perumusan kebijaksanaan dari pemerintah akan lebih realistik. (4). Desentralisasi akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah-daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, di mana seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan di mana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.



2. Landasan Hukum Otonomi Daerah

2.1 UUD 1945

Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik”. Dengan demikian, adanya daerah yang mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri harus diletakkan dalam kerangka negara kesatuan bukan negara federasi.

Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.



Di dalam Pasal 18A UUD 1945, disebutkan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Selanjutnya, dalam Pasal 18B UUD 1945 ditegaskan bahwa (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut (pasal 18, 18 A dan 18 B), dapat ditarik pengertian-pengertian sebagai berikut:

Daerah tidaklah bersifat “staat” atau negara (dalam negara);

Wilayah Indonesia mula-mula akan dibagi dalam provinsi-provinsi. Provinsi ini kemudian akan dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yaitu kabupaten atau kota;

Daerah-daerah itu adalah daerah otonom atau daerah administrasi;

Di daerah otonom dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum (bd. BN. Marbun, 2005:13);

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa serta kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya (bd. Hanif Nurcholis, 2005 : 59); ini menjadi dasar pembentukan Daerah Istimewa dan pemerintah Desa.

Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;

Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat 5);

Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil (Pasal 18 ayat 2, bd. Muhammad Fauzan, 2006 : 41).

2.2 Undang-Undang

Undang-undang organik sebagai tindak lanjut pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia berdasarkan konstitusi telah mengalami beberapa pergantian.

2.2.1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1945

Sejak awal kemerdekaan, otonomi daerah telah mendapat perhatian melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. Undang-undang ini, menurut Mahfud (2006:224), dibuat dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan semangat kebebasan. Undang-undang ini berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting bagi Komite Nasional Daerah (KND) sebagai alat perlengkapan demokrasi di daerah. Asas yang dianut UU No. 1 Tahun 1945 adalah asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan-urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau bidang urusannya. Ini berarti bahwa daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak ditentukan bahwa urusan-urusan tertentu diurus oleh pemerintah pusat atau diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi.

2.2.2 UU No. 22 Tahun 1948

Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU Nomor 22 Tahun 1948 ini menganut asas otonomi formal dan materiil sekaligus. Ini terlihat dari pasal 23 (2) yang menyebut urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan pasal 28 yang menyebutkan adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat Perda tertentu yang telah diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.

2.2.3 UU No. 1 Tahun 1957

Di era demokrasi liberal, berlaku UUDS 1950, di mana gagasan otonomi nyata yang seluas-luasnya tidak dapat dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun 1957. Di sini, dari sudut UU ini telah dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, meski belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini, menurut Mahfud (2006:245), DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah, sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD).

2.2.4 UU No. 18 Tahun 1965

Pada era demokrasi terpimpin, dikeluarkanlah UU Nomor 18 Tahun 1965. UU ini merupakan perwujudan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam sistem pemerintahan justru merupakan pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Demikian juga wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali tidak mempunyai peran.

2.2.5 UU No. 5 Tahun 1974

Setelah demokrasi terpimpin digantikan oleh sistem politik Orde Baru yang menyebut diri sebagai Demokrasi Pancasila, maka politik hukum otonomi daerah kembali diubah. Melalui Tap MPRS No.XXI/MPRS/1966 digariskan politik hukum otonomi daerah yang seluas-luasnya disertai perintah agar UU No. 18 Tahun 1965 diubah guna disesuaikan dengan prinsip otonomi yang dianut oleh Tap MPRS tersebut. Selanjutnya, melalui Tap MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN yang, sejauh menyangkut hukum otonomi daerah, penentuan asasnya diubah dari otonomi “nyata yang seluas-luasnya” menjadi otonomi “nyata dan bertanggungjawab” (Mahfud, 2006:226). Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah ini kemudian dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik itu terjadilah ketidakadilan politik. Seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan cara penetapan kepala daerah. Demikian juga terjadi ketidakadilan ekonomi karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh pusat untuk kemudian dijadikan alat operasi dan tawar-menawar politik.

2.2.6 UU No. 22 Tahun 1999

Pada era reformasi, otonomi daerah kembali mendapat perhatian serius. Otonomi daerah, yang di masa Orde Baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena dianggap sebagai instrumen otoriterisme pemerintah pusat. Melalui UU No. 22 Tahun 1999, prinsip otonomi luas dalam hubungan pusat dan daerah dikembalikan. Ada tiga hal yang menjadi visi UU No. 22 Tahun 1999, menurut Ryass Rasyid (2002:75), yaitu: (1) membebaskan pemerintah pusat dari beban mengurus soal-soal domestik dan menyerahkannya kepada pemerintah lokal agar pemerintah lokal secara bertahap mampu memberdayakan dirinya untuk mengurus urusan domestiknya; (2) pemerintah pusat bisa berkonsentrasi dalam masalah makro nasional; dan (3) daerah bisa lebih berdaya dan kreatif.

2.2.7 UU No. 32 Tahun 2004

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menganut prinsip yang sama dengan UU No. 22 Tahun 1999, yakni otonomi luas dalam rangka demokratisasi. Prinsip otonomi luas itu mendapat landasannya di dalam pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen. Dalam UU ini juga ditegaskan juga sistem pemilihan langsung kepala daerah. Rakyat diberi kesempatan yang luas untuk memilih sendiri kepala daerah dan wakilnya. Menurut pasal 57 ayat (1), Kepda/Wakepda dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

2.3 Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan ini menjadi dasar hukum otonomi daerah dalam melaksanakan kewenangan di daerah. PP No. 38 Tahun 2007 ini merupakan penjabaran langsung untuk dapat melaksanakan Pasal 14 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.



3. Asas Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Asas Desentralisasi

Sentralisasi

Menurut J. In het Veld, kelebihan sentralisasi adalah menjadi landasan kesatuan kebijakan lembaga atau masyarakat. dapat mencegah nafsu memisahkan diri dari negara dan dapat meningkatkan rasa persatuan. meningkatkan rasa persamaan dalam perundang-undangan, pemerintahan dan pengadilan sepanjang meliputi kepentingan seluruh wilayah dan bersifat serupa. terdapat hasrat lebih mengutamakan umum daripada kepentingan daerah, golongan atau perorangan, masalah keperluan umum menjadi beban merata dari seluruh pihak. tenaga yang lemah dapat dihimpun menjadi suatu kekuatan yang besar. meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan meskipun hal tersebut belum merupakan suatu kepastian tenaga yang lemah dapat dihimpun menjadi suatu kekuatan yang besar. meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan meskipun hal tersebut belum merupakan suatu kepastian



Ada beberapa alasan perlunya pemerintah pusat mendesentralisasikan kekuasaan kepada pemerintah daerah, yaitu :

segi politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mengikutsertakan warga dalam proses kebijakan, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung politik dan kebijakan nasional melalui pembangunan proses demokrasi di lapisan bawah.

segi manajemen pemerintahan, desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas publik terutama dalam penyediaan pelayanan publik.

segi kultural, desentralisasi untuk memperhatikan kekhususan, keistimewaan suatu daerah, seperti geografis, kondisi penduduk, perekonomian, kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya.

segi kepentingan pemerintah pusat, desentralisasi dapat mengatasi kelemahan pemerintah pusat dalam mengawasi program-programnya.

segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan persaingan positif antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sehingga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada :

    dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang apda akhirnya dapat menimbulkan tirani. penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.

    dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, desentralisasi adalah untuk mencapai suatu pemerintahan yang efesien.



Asas penyelenggaraan otonomi daerah yang terpenting adalah desentralisasi (Latin: decentrum). Desentralisasi dapat diartikan “lepas dari pusat” atau “ tidak terpusat”. Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, kewenangan pemerintah, di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat. Pejabat-pejabat yang ada di daerah hanya melaksanakan kehendak pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasi sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan.

Kekuasaan dan wewenang pemerintah daerah sebenarnya adalah pelimpahan dari pemerintahan pusat kepada daerah. Jadi, apabila dilihat dari segi pemerintah pusat, pemerintah daerah otonom adalah organ pemerntah pusat. Akan tetap, apa bilah di lihat dari segi pemerintah daerah, pemerintah daerah adalah pemerintah otonom. Hal ini jelas terlihat dari pengangkatan kepala daerah, pengaangkatan itu ditetapkan oleh daerah otonom harus dijelaskan dengan tegas. Dengan demikian, tidak akam terjadi suatu wewenang dalam pelaksanaan pemerntah daerah atau sama sekali tidak di kerjakan, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerntah daerah.

Adanya desentralisasi dapat dilihat sebagai bagian perwujudan Negara hukum, sebab di dalam prinsip ini tergantung maksut pembatasan kekuasaan terhadap pemerintah pusat. Adanya pembatasan itu merupakan salah satu ciri Negara hukum. Diantara ciri Negara hukum klasik terhadap tiga hal yang berkaitan dengan pembatasan kekuasaan, yakni :

a. Adanya wargnya

b. Adanya pembagian kekuasaan yang dapat menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman

c. Adanya pemencaran kekuasaan Negara/ pemerintah.

Pemerintah daerah terdiri atas DPRD dan dewan pemerintah daerah (DPD) yang diketahui oleh kepalah daearah. Jadi pemerintahan di daerah dilakukan dilakukan secara kolegial dan kepala daerah tidak merupakan suatu operator yang tersendiri karena dia termasuk dalam struktur DPD yait sebagai ketua merangkap anggota.

Instrumen pemerintahan adalah alat-alat atau sarana dan prasarana yang digunakan  oleh pemerintah daerah. Instrument yang digunakan oleh pemerintah daloam mejalankan tindakan pemerintah dalam politik hokum pemerintahan daerah.

Van Wijk dan Willem (dalam Lukman, 1977:55) menyatakan bahwa delegasi merupakan penyerahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya, atau dari badan administrasi satu kepada badan administrasi negara. Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka NKRI terdapat penyerahan wewenang. Wewenang itu adalah penyerahan sebagian wewenang pusat ke daerah terhadap hal-hal tertentu yang diatur dalam undang-undang.

Ada empat aspek yang menjadi tujuan desentralisasi atau otonomi daerah dalam menata jalannya pemerintahan yang baik, (Mahfud, 2006:229) yaitu: (1) dalam hal politik, untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat, baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung kebijakan nasional dalam rangka pembangunan proses demokrasi lapisan bawah. (2) dalam hal manajemen pemerintahan, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat. (3) dalam hal kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta untuk menumbuhkan kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha empowerment masyarakat, sehingga masyarakat makin mandiri dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhan. (4) dalam hal ekonomi pembangunan, untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.

Menurut Bagir Manan (1994:161-167), dasar-dasar hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi ada empat macam, yaitu:

Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara. UUD 1945 menghendaki kerakyatan dilaksanakan pada pemerintahan tingkat daerah. Ini berarti UUD 1945 menghendaki keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah, keikutsertaan rakyat pada pemerintahan tingkat daerah hanya dimungkinkan oleh desentralisasi.

Dasar pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli: pada tingkat daerah, susunan pemerintahan asli yang ingin dipertahankan adalah yang sesuai dengan dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.

Dasar kebhinekaan: “Bhineka Tunggal Ika”, melambangkan keragaman Indonesia, otonomi, atau desentralisasi merupakan salah satu cara untuk mengendorkan “spanning” yang timbul dari keragaman.

Dasar negara hukum: dalam perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan. Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.



Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat diputuskan di tingkat pemerintah daerah. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.

Pemberian kewenangan otonomi daerah kepada daerah didasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian diharapkan berimplikasi : pertama, Adanya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan yang diserahkan dengan kewenangan yang utuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kedua, Adanya perwujudan tanggungjawab sebagai konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan tersebut berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, berjalannya proses demokrasi, dan mengupayakan terwujudnya keadilan dan pemerataan. Di sisi lain, kewibawaan pemerintah akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan menyelenggarakan pelayanan publik yang dapat memuaskan masyarakat serta memfasilitasi masyarakat dan dialog publik dalam pembentukan kebijakan negara, sehingga pelayanan pemerintah kepada publik harus transparan, terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas.

Kelebihan dan Kelemahan Desentralisasi

Kelebihan desentralisasi :

1. mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.

2. dalam menghadapi masalah yang mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari pemerintah pusat.

3. dapat mengurangi birokrasi dalam arti buruk karena setiap kebutusan dapat segera dilaksanakan.

4. mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat.

5. dapat memberikan kepuasan bagi daerah karena sifatnya lebih langsung.



Kelemahan desentralisasi :

1. karena besarnya organ-organ pemerintah, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi.

2. keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu.

3. dapat mendorong timbulnya fanatisme daerah.

4. keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama.

5. diperlukan biaya yang lebih banyak.



Konsep desentralisasi mengandung beberapa kebaikan, yaitu :

memberikan penilaian yang tepat terhadap daerah dan penduduk yang beraneka ragam. meringankan beban pemerintah, karena pemerintah pusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dan kebutuhan setempat dan tidak mungkin dapat mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. dapat dihindarkan adanya beban yang melampaui batas dari perangkat pusat oleh sebab tunggakan kerja.



Unsur individu atau daerah lebih menonjol karena dalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam masyarakat yang lebih luas masyarakat setempat dapat kesempatan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga ia tidak akan merasa sebagai obyek saja. meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah laku pemerintah.



3.2 Asas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat di daerah. Pelimpahan wewenang berdasarkan asas dekonsentrasi adalah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, baik dari segi policy, perencanaan, pelaksanaan, maupun pembiayaan.

Wewenang yang dilimpahkan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi ini adalah (Penjelasan Pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004):

Bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, seperti pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan.

Bidang pemerintahan tertentu yang meliputi: (1) perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro; (2) pelatihan bidang tertentu, alokasi sumberdaya manusia dan penelitian yang mencakup provinsi; (3) pengelolaan pelabuhan regional; (4) pengendalian lingkungan hidup, promosi budaya/pariwisata; (5) penanganan penyakit menular dan hama tanaman (6) perencanaan tata ruang provinsi.

Kewenangan daerah otonom Kabupaten/Kota setelah ada pernyataan dari daerah yang bersangkutan tidak atau belum dapat melaksanakan kewenangannya.

Pelaksanaan kewenangan tersebut dilakukan dengan menselaraskan pelaksanaan otonomi yang nyata, luas, dan bertanggung jawab.

Oleh karena itu, di daerah terdapat suatu wilayah yang merupakan wilayah kerja pejabat yang menerima sebagian wewenang dari pejabat pusat. Wilayah kerja pejabat untuk pejabat pusat yang berada di daerah disebut wilayah administrasi. Wilayah administrasi adalah wilayah kerja pejabat pusat yang menyelenggarakan kebijakan administrasi di daerah sebagai wakil dari pemerintah pusat. Wilayah administrasi terbentuk akibat diterapkannya asas dekonsentrasi.



Pejabat pusat akan membuat kantor-kantor beserta kelengkapannya di wilayah administrasi yang merupakan cabang dari kantor pusat. Kantor-kantor cabang yang berada diwilayah administrasi inilah yang disebut dengan instansi vertikal. Disebut vertikal karena berada di bawah kontrol langsung kantor pusat. Jadi, instansi vertikal adalah lembaga pemerintah yang merupakan cabang dari kementrian pusat yang berada di wilayah administrasi sebagai kepanjangan tangan dari departemen pusat



Kelebihan dekonsentrasi adalah sebagai berikut :

secara politis, eksistensi dekonsentrasi akan dapat mengurangi keluhan-keluhan daerah, protes-protes daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat. secara ekonomis, aparat dekonsentrasi dapat membantu pemerintah dalam merumuskan perencanaan dan pelaksanaan melalui aliran informasi yang intensif yang disampaikan dari daerah ke pusat. Mereka dapat diharapkan melindungi rakyat daerah dari eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memanfaatkan ketidakacuhan masyarakat akan ketidakmampuan masyarakat menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi modern.



Dekonsentrasi memungkinkan terjadinya kontak secara langsung antara pemerintah dengan yang diperintah/rakyat kehadiran perangkat dekonsentrasi di daerah dapat mengamankan pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat atau kebijakan nasional di bidang politik, ekonomi, dan administrasi

dapat menjadi alat yang efektif untuk menjamin persatuan dan kesatuan nasional



3.3 Asas Tugas Pembantuan

Tugas pembantuan dalam bahasa Belanda disebut medebewind. Tugas pembantuan dapat diartikan sebagai pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas untuk dimintai bantuan kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah di dalam menyelenggarakan tugas-tugas atau kepentingan-kepentingan yang termasuk urusan rumah tangga daerah yang dimintai bantuan tersebut

Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu (Ketentuan Umum nomor 9, UU 32 Tahun 2004). Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dan dari daerah ke desa, untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. Pelaksanaan asas tugas pembantuan ini dapat dilaksanakan di provinsi, kota, dan desa. Oleh karena itu, pemerintah dalam melaksanakan asas tugas pembantuan ini, pusat dapat menerapkan di provinsi sampai ke desa. Demikian juga provinsi dapat memberikan tugas pembantuan kepada daerah kabupaten/kota sampai ke desa-desa. Pelaksanaan tugas pembantuan ini senantiasa untuk memperkuat kedaulatan Indonesia sebagai negara kesatuan.



Tujuan diberikannya tugas pembantuan adalah :

untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan pembangunan serta pelayanan umum kepada masyarakat. Bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan serta membantu mengembangkan pembangunan daerah dan desa sesuai dengan potensi dan karakteristiknya



Ada beberapa latar belakang perlunya diberikan tugas pembantuan kepada daerah dan desa, yaitu :

adanya peraturan perundang-undangan yang membuka peluang dilakukannya pemberian tugas pembantuan dari pemerintah kepada daerah dan desa dan dari pemerintah daerah kepada desa (Pasal 18A UUD 1945 sampai pada UU pelaksananya : UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor  33 Tahun 2004).



Adanya political will atau kemauan politik untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada seluruh lapisan masyarkat dengan prinsip lebih murah, lebih cepat, lebih mudah dan lebih akurat.

adanya keinginan politik untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat secara lebih ekonomis, lebih efesien dan efektif, lebih transparan dan akuntabel.



Kemajuan negara secara keseluruhan akan sangat ditentukan oleh kemajuan daerah dan desa yang ada di dalam wilayahnya. citra masyarakat akan lebih mudah diukur oleh masyarakat melalui maju atau mundurnya suatu desa atau daerah. Citra inilah yang akan memperkuat atau memperlemah dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang sedang berkuasa



Dasar pertimbangan pelaksanaan asas tugas pembantuan antara lain :

keterbatasan kemampuan pemerintah dan atau pemerintah daerah. sifat sesuatu urusan yang sulit dilaksanakan dengan baik tanpa mengikutsertakan pemerintah daerah. perkembangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga sesuatu urusan pemerintahan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila ditugaskan kepada pemerintah daerah.



4. Unsur Pemerintahan Daerah

Di dalam Ketentuan Umum angka 2 dan angka 3, UU No. 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa (1) Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

4.1 Kepala Daerah

Pemerintahan Daerah, menurut Penjelasan Umum (4) UU No 32 Tahun 2004, adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah, yaitu: Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD).

Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis. Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, menyatakan, antara lain: bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam Undang-Undang 32/2004 dilakukan oleh rakyat secara langsung. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah dan perangkat daerah. Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat terjadi apabila: meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan (Pasal 29, UU No. 32 Tahun 2004).

Perangkat daerah adalah pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu menyusun kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam lembaga sekretariat; unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah; serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam lembaga dinas daerah. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan; jenis dan banyaknya tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani; sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu, kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.

Tugas dan wewenang Kepala Daerah diatur dalam Pasal 25 (UU No. 32 Tahun 2004), sebagai berikut:

    memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;

    mengajukan rancangan Perda;

    menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;

    menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

    mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;

    mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

    melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Adapun kewenangan Kepala Daerah dalam pembentukan Perda adalah sebagai berikut:

    Membuat Rancangan Perda. Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) memiliki wewenang untuk membuat rancangan Perda dan mengajukan rancangan Perda untuk dibahas oleh DPRD. Apabila DPRD juga mengajukan rancangan Perda yang materinya sama, maka rancangan Perda dari Kepala Daerah digunakan sebagai bahan sandingan. Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang disampaikan oleh Kepala Daerah diatur dengan Peraturan Presiden (Pasal 140 UU No.32 Tahun 2004).

    Menyebar-luaskan rancangan Perda yang buat oleh Kepala Daerah melalui sekretariat daerah (Pasal 142 UU No. 32 Tahun 2004).

    Menetapkan Perda. Kepala Daerah menetapkan Perda yang telah disetujui bersama DPRD. Apabila Kepala Daerah tidak menetapkan Rancangan Perda yang telah disetujui bersama DPRD, setelah tiga puluh hari, maka Rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran daerah (Pasal 144 UU No.32 Tahun 2004).

    Kepala Daerah berhak mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung, apabila Pemerintah, melalui Peraturan Presiden, membatalkan Perda (Pasal 145 UU No.32 Tahun 2004).

    Kepala Daerah memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya bersama DPRD mencabut Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah (Pasal 146 UU No.32 Tahun 2004).

    Kepala Daerah dapat membuat peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah untuk mengimplementasikan Perda (Pasal 146 UU No.32 Tahun 2004).

    Menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah diundangkan dalam Berita Daerah (Pasal 147 UU No.32 Tahun 2004).

    Kepala Daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja (Pasal 148 UU. No. 32/2004), dan dapat menunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda (Pasal 149).



4.2 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Penjelasan Umum 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Pasal 40 menyatakan bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.



Tugas dan Wewenang DPRD menurut Pasal 42 UU No. 32 Tahun 2004 adalah sebagai berikut:

    membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama;

    membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah;

    melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerja sama internasional di daerah;

    mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota;

    memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah;

    memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

    memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

    meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

    membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;

    melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;

    memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.



Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPRD mempunyai hak: interpelasi; angket; dan c. menyatakan pendapat (Pasal 43).

Sebagai anggota DPRD, UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 44 memberikan hak-hak sebagai berikut: mengajukan rancangan Perda; mengajukan pertanyaan; menyampaikan usul dan pendapat; memilih dan dipilih; membela diri; imunitas; protokoler; dan . keuangan dan administratif.

Adapun kewenangan DPRD dalam pembentukan Perda adalah sebagai berikut:

    Membuat Rancangan Perda. Rancangan Perda dapat disampaikan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi (pasal 140). Tata cara mempersiapkan rancangan Perda diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD (pasal 141).

    Menyebarluaskan rancangan Perda yang dilaksanakan oleh sekretariat DPRD (pasal 142).

    Membahas dan menyetujui Rancangan Perda (Pasal 140 ayat 2).

    Menyampaikan Rancangan Perda yang telah disetujui bersama Kepala Daerah, kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan sebagai Perda (pasal 144).

    Mencabut Perda, bersama Kepala Daerah, apabila Perda dibatalkan oleh Pemerintah (Pasal 145).

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.

Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah merupakan titik fokus yang tidak sama sekali penting dalam rangka memperbaiki kesejahteraan para artis. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan yaitu pemerintah daerah. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan hukum yaitu ya perundang undangaan.

Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:

Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan

Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan:

    Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;

    Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;

Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

    Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;

    Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan

    Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju



Lembaga Daerah

Disamping lembaga-lembaga tinggi Negara dan lembaga-lembaga Negara lainya tingkat pusat, ada pula beberapa lembaga daerah yang dapat pula disebut sebagai lembaga Negara dalam arti luas. Lembaga-lembaga seperti gubernur dan DPRD bukanlah lembaga masyarakat, tetapi merupakan lembaga Negara. Bahkan, keberadaanya ditentukan dengan tegas dalam UUD 1945. Oleh karena itu, tidak dapat tidak, gubernur dan dewan perwakilan rakyat daerah itu termasuk kedalam pengertian lembaga Negara dalam arti yang luar, namun. Karena tempat kedudukannya di daerah, dan merupakan bagian dari system pemerintahan daerah, maka lembaga lembaga-lembaga Negara seperti gubernur dan dewan perwakilan daerah itu lebih tepat tepat di sebut sebagai lembaga daerah.

Keberadaan lembaga-lembaga daerah tersebut diatur beberapa kemungkinan bentuk peraturan, yaitu:

a. Lembaga daerah yang dibentuk atas atur dalam undang-undang dasar.

b. Lembaga daerah yang dibentuk atas atur dalam undang-undang.

c. Lembag daerah yang dibentuk atas atur dalam peraturan perundang-undangan tingakat pusat.

d Lembaga daerah yang dibentuk atas atur dalam peraturan perundang-udanagan tingkat pusat lainya.

e. Lembaga daerah yang dibentuk atas atur dalam peratuaran daerah provinsi.

f. Lembaga daerah yang dibentuk atas atur dalam peratuaran gubernur.

g. Lembaga daerah yang dibentuk atas atur dalam peratuaran daerah kabupaten/kota

h. Lembaga daerah yang dibentuk atas atur dalam peraturan bupati/walikota.



Kedudukan yang paling tinggi ialah keberadaan organ dan functie atau kewenangannya diatur oleh undang-undang dasar. Dalam kategori inilah organ negaranya disebut sebagai lembaga yang kewenangannya diberikan undang-undang dasar. Dalam kategori ini, dapat kita sebut adanya beberapa lembaga seperti gubernur, bupati, walikota, dan dewan perwakilan rakyat kabupaten/ kota. Disamping itu, dalam pasal 18B ayat (1) disebutkan pula adanya satuan-satuan pemerintah bersifat khusus atau istemewa. Contoh pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa itu adalah seperti istemewa Yogjakarta, daerah otonomi daerah Nanggroe Aceh Darusalam, dan daerah otonomi khusus papua.

Pada lapis kedua adalah lembaga daerah yang dibentuk dan diberbubarkan dengan atau berdasarkan undang-undang. Misalnya Komisi Pemilihan Umum daerah sebagai penyelengaraan pemilihan kepala, daerah dan panitia pengawasan pemilihan kepada daearh yang dibentuk Dewan perwakilan rakyat daerah, berdasarkan undang-undangtentang pemerintahan daerah. Sedangkan pada level ketiga, ada pula lembaga-lembaga daerah yang membentuk dengan atau berdasarkan perturan tingkat pusat dibawah undang-undang. Misalnya adanya badan layanan umum (BLU) yang di atur berdasarkan ketentuan undang-undang tentang keuangan Negara dan peraturan pemerintah tentang badan layana umum.



Sementara itu pada lapis keempat, ada juga lembaga daerah yang murni diatur dan dibentuk sendiri oleh pemerintahan daera. Undang-undang dasar, undang-undang, ataupun peraturan tingkat pusat lainnya sama sekali tidak mengatur keberadaan lembaga-lembaga Negara seperti ini, tetapi oleh daerah sendiri diadakan berdasarkan peraturan daerah atau tingkat daerah.

Aturan Perundang-undangan

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:

    Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah

    Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

    Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

    Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

    Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

    Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

    
Sumber: 

http://yuliadhaniaty.blogspot.co.id/2012/10/hukum-pemerintahan-daerah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar